Kisah yang tak disengaja. Yah, memang begitulah adanya. Saat
saya ada kegiatan di daerah Selo, Boyolali. Bersama beberapa rekan, saya
meninggalkan rombongan utama berjalan-jalan menyusuri lokasi lain. Waktu
berhenti untuk meminta izin ke kamar mandi dan sholat, kebetulan kami (yang
sedang berhalangan) diajak masuk oleh tuan rumah. Beliau, Pak Ashim, tuan rumah
tersebut adalah seorang petani sayur. Sambil berbincang, Pak Ashim bertutur
mengenai kendala yang dihadapi petani lokal, hmm.. apalagi kalau bukan produk
impor. Kemudian beliau berlanjut pada topik petani dan syukur. Katanya,”Orang
yang paling sering bersyukur itu adalah petani.” “Kenapa Pak?”tanya kami. “Lihat
saja, apapun dilakukan setelah selesai pasti mereka bersyukur. Selesai menanam
padi, sewaktu istirahat makan siang, sampai menjelang pulang mereka mengucap
syukur.” Dan kami pun tanpa perlu berdebat menyetujuinya.
Syukur. Idealnya kita bersyukur ketika mendapat nikmat,
apapun bentuk nikmatnya. Nikmat sehat, materi, waktu luang, keluarga, ilmu, dan
sebagainya. Tapi pada umumnya banyak yang bersyukur ketika memiliki kelebihan
materi saja, itu pun kalau masih ingat bersyukur. Hehe..
Syukur berarti rasa terimakasih yang kita haturkan kepada
Sang Pemberi Nikmat, namun bukan berarti Dia membutuhkan ucapan terimakasih
dari kita. Allah tidak membutuhkannya, toh kekayaanNya melebihi pada tiap-tiap
yang ada di langit dan bumi. Ucapan syukur adalah salah satu tanda ketaatan
seorang makhluk terhadap Sang Kholiq. Dan salah satu hikmahnya adalah
ditambahkannya nikmat kepada orang yang bersyukur, sesuai janji Allah dalam
firman-Nya QS. Ibrahim ayat 7.
Syukur, selain melalui ucapan juga bisa dilakukan melalui
tindakan. Misalnya, menggunakan anggota badan untuk melakukan da’wah bil
hasanah, menggunakan ilmunya untuk hal-hal yang bermanfaat bukannya “minteri”,
dan mengambil sebagian hartanya untuk disedekahkan.
Bahagia itu sesungguhnya sederhana, asalkan ada syukur di
tiap kehidupan J.