Rabu, 24 Juli 2013

Petani & Syukur

Kisah yang tak disengaja. Yah, memang begitulah adanya. Saat saya ada kegiatan di daerah Selo, Boyolali. Bersama beberapa rekan, saya meninggalkan rombongan utama berjalan-jalan menyusuri lokasi lain. Waktu berhenti untuk meminta izin ke kamar mandi dan sholat, kebetulan kami (yang sedang berhalangan) diajak masuk oleh tuan rumah. Beliau, Pak Ashim, tuan rumah tersebut adalah seorang petani sayur. Sambil berbincang, Pak Ashim bertutur mengenai kendala yang dihadapi petani lokal, hmm.. apalagi kalau bukan produk impor. Kemudian beliau berlanjut pada topik petani dan syukur. Katanya,”Orang yang paling sering bersyukur itu adalah petani.” “Kenapa Pak?”tanya kami. “Lihat saja, apapun dilakukan setelah selesai pasti mereka bersyukur. Selesai menanam padi, sewaktu istirahat makan siang, sampai menjelang pulang mereka mengucap syukur.” Dan kami pun tanpa perlu berdebat menyetujuinya.
Syukur. Idealnya kita bersyukur ketika mendapat nikmat, apapun bentuk nikmatnya. Nikmat sehat, materi, waktu luang, keluarga, ilmu, dan sebagainya. Tapi pada umumnya banyak yang bersyukur ketika memiliki kelebihan materi saja, itu pun kalau masih ingat bersyukur. Hehe..
Syukur berarti rasa terimakasih yang kita haturkan kepada Sang Pemberi Nikmat, namun bukan berarti Dia membutuhkan ucapan terimakasih dari kita. Allah tidak membutuhkannya, toh kekayaanNya melebihi pada tiap-tiap yang ada di langit dan bumi. Ucapan syukur adalah salah satu tanda ketaatan seorang makhluk terhadap Sang Kholiq. Dan salah satu hikmahnya adalah ditambahkannya nikmat kepada orang yang bersyukur, sesuai janji Allah dalam firman-Nya QS. Ibrahim ayat 7.
Syukur, selain melalui ucapan juga bisa dilakukan melalui tindakan. Misalnya, menggunakan anggota badan untuk melakukan da’wah bil hasanah, menggunakan ilmunya untuk hal-hal yang bermanfaat bukannya “minteri”, dan mengambil sebagian hartanya untuk disedekahkan.

Bahagia itu sesungguhnya sederhana, asalkan ada syukur di tiap kehidupan J.